WONOAGUNG DALAM LINTASAN SEJARAH
Perhatian: Artikel ini bisa berubah redaksi seiring berkembangnya waktu dan bukti sejarah lain yang selaras dengan sejarah desa
Awal Mula Wonoagung Tirtoyudo
Sejarah desa Wonoagung bisa ditelusuri dari dua peristiwa besar di zaman dulu, yaitu Perang Jawa (1825-1830) dan hadirnya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) tahun 1870 yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda waktu itu. Dua peristiwa tersebut juga merupakan awal dari perekonomian tanah jajahan yang sebelumnya harus berkutat pada perang di awal abad ke-19.
Pandangan kami, ada dua cerita yang menunjukkan sejarah awal desa ini. Di Wonoagung Timur, para sesepuh desa menuturkan bahwa ada seseorang bernama Satuman beserta kawan-kawannya yang mencari tempat tinggal di lereng Semeru. Saat itu, seluruh lereng Semeru bagian selatan merupakan daerah tersulit untuk dijelajahi manusia. Setelah menemukan tempat yang sesuai, mereka mulai membabat pepohonan dan mendirikan perkampungan. Pada saat itulah, Satuman melihat sebuah sungai yang dipinggirnya terdapat tanaman ubi gadung. Oleh karena itu, kampung yang baru dibentuk diberi nama Sumbergadung (Wawancara, 2020-2021).
Di Wonokitri, sejumlah sesepuh desa menuturkna bahwa ada seseorang bernama Wongsodikromo sedang mecari tempat untuk tempat tinggal. Setelah dicari-cari, ia menemukan tempat di hutan yang didalamnya banyak sekali tumbuhan yang sedang berbuah. Olehnya, tempat tersebut diberi nama Wonokitri yang berarti hutan yang kitren (mempunyai hasil hutan yang melimpah, pen-). Di tempat tersebut, ia Bersama sejumlah orang lainnya mendirikan perkampungan kecil. Namun, Wongsodikromo dikabarkan melanjutkan pengembaraannya ke arah Lumajang dan saat itulah tidak diketahui dimanakah ia tinggal dan dikebumikan. Masih menurut sesepuh, diperkirakan peristiwa tersebut terjadi saat perang Jawa berlangsung atau setelah perang yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara (Wawancara, 2021).
Bukti keberadaan penduduk di Wonoagung ditunjukkan oleh adanya penemuan barang-barang berbahan logam di Talangrejo (RT. 19/04), Wonokitri. Seorang petani setempat tak sengaja menemukan sejumlah uang koin, dandang nasi dan ganco tanah saat mencangkul lahan. Sebagian masyarakat beranggapan penemuan tersebut berusia ratusan tahun dan diperkirakan ada sebelum adanya perkampungan. Namun, belum diketahui apakah barang-barang tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan atau saat masa pembukaan lahan perkebunan di akhir abad ke-19.
Undang-Undang Agraria dan Hadirnya Pekerja Perkebunan di Lereng Semeru
Tahun 1870, pemerintah Belanda di Hindia Timur (Indonesia, pen-) mengeluarkan Undang-Undang Agraria. Setelah itu, muncullah berbagai perkebunan di penjuru negeri, khusunya pulau Jawa dan Sumatera; mulai dari kopi, teh, karet hingga tebu. Di Malang, ribuan perkebunan menjamur bagaikan cendawan di musim hujan. Industri perkebunan juga menjalar ke penjuru Malang. Hatta, viralnya industri ini melirik wilayah lereng Semeru bagian selatan karena tanah yang dikandungnya sangat subur sehingga cocok untuk dijadikan perkebunan.
Perkebunan Ampelgading (1875) tercatat menjadi perkebunan pertama yang didirikan di lereng Semeru. Perkebunan perdana ini didirikan di bawah bendera perusahaan Cultuurmaatschappij Ampelgading J. C. Lotius. Lambat laun, muncul perkebunan-perkebunan lain di sekitar perkebunan tersebut. Termasuk diantaranya adalah hadirnya perkebunan di wilayah Wonokitri dan Sumbergadung di tahun 1880-an (Regeeringsalmanak, 1898: 308-313)
Regeeringsalmanak mencatat, perkebunan Sumbergadung didirikan tanggal 26 Juli 1881 di bawah bendera perusahaan P. I. H. Stennekes dan A. Robinson. Di awal abad ke-20, diketahui perkebunan ini berpindah tangan ke perusahaan Maatschappij Wonokojo yang berpusat di Wonokoyo (Tamankuncaran, pen-). Wonokitri juga mendirikan perkebunannya sendiri bersama dengan perkebunan Sumbergilang A dan Karangpandan dengan nama perusahaan Cultuurmaatschappij Wonokiri, e., K. W. A. Volger sekitar Februari 1881 hingga Februari 1883. Namun, di awal abad ke-20, perkebunan Wonokitri tenggelam tak bersisa sama sekali, alias tak tercatat dalam buku tahunan milik pemerintah Hindia Belanda tersebut. Malah, Perkebunan Sumbergilang A masuk dalam perusahaan perkebunan Wonokoyo. Selain itu, perkebunan yang sekarang masuk Wonoagung Tirtoyudo adalah Sumberagung. Dikatakan dalam Regeeringsalmanak tahun 1898, perkebunan tersebut memiliki beberapa tempat, diantaranya Sumberpeteng, Kemadoh, Sumbersari dan Alas Blubuk. Sebagian perkebunan tersebut sekarang berada di wilayah Tamansatriyan dan Wonoagung, Tirtoyudo.
Selama pembukaan perkebunan tersebut, banyak penduduk dari berbagai daerah dating mengadu nasib di sejumlah perusahaan. Banyak penutur cerita sejarah desa yang menyebutkan wilayah Ponorogo, Madiun, Nganjuk, Yogyakarta, Surakarta dan sebagian wilayah Jawa Barat sebagai asal para pekerja perkebunan. Selain itu, masyarakat dari suku Madura pun juga ikut bagian dalam industri ini walau kebanyakan mereka ditempatkan di wilayah Gondanglegi dan sekitarnya.
Pendirian Pemerintah Desa Wonoagung Tirtoyudo
Semenjak banyaknya lahan perkebunan dan bertambahnya jumlah penduduk, pemerintah saat itu mulai menata administrasi yang dibagi menjadi beberapa bagian seperti Afdeling (setingkat kabupaten), District (Kawedanan), Onderdistrict (setingkat kecamatan) dan lain sebagainya. Sebelum akhir abad ke-19, daerah Wonokitri dan Sumergadung yang saat itu menjadi daerah industri perkebunan masuk ke dalam administrasi Onderdistrict Ampelgading, District Gondanglegi, Afdeling Malang. Lambat laun, District Gondanglegi dipecah menjadi dua bagian, yaitu District Turen dan Gondanglegi itu sendiri walau pun kontrol pemerintahan berada di bawah wilayah Turen (Regeeringsalmanak, 1898: 232). Di tambah lagi dengan adanya fasilitas umum seperti jalur trem dan pusat perekonomian seperti pasar menambah minat masyarakat untuk merntau dan menjadi penduduk di sana.
Desa Wonoagung membentuk pemerintahan sendiri di tahun 1925. Seorang mandor perkebunan bernama Atmodirejo menjadi Petinggi (kepala desa, pen-) pertama yang bertanggung jawab kepada Onderdistrict Ampelgading. Menurut sesepuh desa, luas dari desa Wonoagung saat itu hampir mencakup Pujiharjo hingga Alas Blubuk. Hal ini dikuatkan dengan penuturan sesepuh desa yang mengisahkan Petinggi pertama yang sering keliling kampung ke arah selatan selama berhari-hari dengan mengendarai kuda untuk menagih pajak masyarakat sekitar. Bahkan, sebuah catatan menyebut bahwa desa-desa di selatan Tirtoyudo seperti Pujiharjo pada masa lalu juga merupakan satu dusun di bawah pemerintahan desa Wonoagung. Ditambah lagi dengan kondisi persebaran penduduk saat itu masih jarang dan jaraknya jauh.
Saat Atmodirejo mengemban menjadi orang nomor satu di desa, pusat pemerintahan berada di Wonoagung Timur. Selain memang rumahnya berada di sana, keberadaan pusat pemerintahan di sana dapat memudahkan Petinggi untuk berkoordinasi dengan pihak pemerintah Onderdistrict yang berada di Sanggrahan, Ampelgading. Namun, jangan dibayangkan pusat pemerintahan desa seperti sekarang ini; ada kantor desa dan segala macam sarana dan prasarananya. Pusat pemerintahan desa berupa rumah Petinggi itu sendiri, sehingga perangkat desa pun juga bekerja di kediaman mereka masing-masing. Saat ada pertemuan atau kegiatan yang berhubungan dengan pemerintah desa, mereka akan mengadakannya di rumah Petinggi.
Ada yang menarik dari penamaan desa ini. Setidaknya, ada dua versi yang menjurus pada nama Wonoagung. Pertama, nama tersebut berasal dari dua suku kata, yaitu Wono yang berarti hutan dan Agung yang berarti besar. Secara harfiah, nama Wonoagung bermaksud tempat berupa hutan yang besar, baik luas maupun hasilnya yang melimpah. Versi lain mengatakan bahwa penamaan desa diambil dari dua nama dusun yang berbeda, yaitu Wono dari dusun Wonokitri dan Agung dari dusun Sumbergadung yang sepertinya diplesetkan huruf d dengan g. Versi kedua muncul karena saat pendirian desa, ada dua dusun yang menjadi bagiannya; Wonokitri di barat desa dan Sumbergadung di timur desa. Sedangkan versi pertama muncul karena kondisi desa saat itu dan sejarah awal perkampungan yang masih berupa hutan belantara dengan hasil alamnnya yang melimpah.
Pendudukan Jepang, Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Tahun 1940-an, Petinggi pertama, Atmodirejo, meninggal dunia. Ia dimakamkan di pemakaman Sumbergadung yang letaknya berada di antara dusun Wonoagung Timur dan Wonoagung Tengah. Kepemimpinan desa dilanjutkan oleh Carik (Sekretaris Desa, pen-), Purwoto. Pada masa kepemimpinannya, pusat pemerintahan desa dipindahkan ke Sumbergadung bagian barat (sekarang dusun Wonoagung Tengah) hingga tahun 1975. Seperti Petinggi pertama, Petinggi kedua ini juga mendirikan rumah dan beberapa ruangan yang digunakan sebagai kantor desa.
Menurut tuturan para sesepuh dusun Wonoagung Tengah, bentuk rumah Petinggi Purwoto sangat besar. Terbuat dari kayu dan berdindingkan bambu yang dianyam, kediamanya juga dilengkapi dengan pendopo di depan rumah. Setiap hari, ada beberapa petugas keamanan desa (Hansip, pen-) yang menjaga rumah tersebut siang dan malam. Setiap tahun, pemerintah desa sering mengadakan pagelaran wayang kulit di pelataran pendopo hingga tumpah ruah ke jalan. Hal itu berjalan sampai Petinggi meninggal dunia di tahun 1975.
Pada masa kemerdekaan, tentara Belanda berusaha untuk menguasai negeri tercinta. Hal tersebut tidak terkecuali desa Wonoagung. Saat agresi militer Belanda, tentara yang bergerak dari Kota Malang tersebut menyisir berbagai perkampungan hingga sampai di Wonoagung Timur. Di dusun itu, tiga orang yang terdiri dari dua orang mata-mata dan satu warga setempat gugur dalam upaya mencari tentara Republik. Sekarang, makam mereka berada di belakang bekas kantor desa di Wonoagung Timur.
Anehnya, pusat pemerintahan desa pada masa Purwoto ini tak pernah tersentuh pihak tentara Belanda sama sekali. Bahkan, dusun Wonokitri yang jaraknya lebih dekat dengan pusat keramaian di Dampit pun malah menjadi salah satu markas tentara Republik yang tergabung dalam Pasukan Untung Suropati (PUS) 18. Menurut penuturan sesepuh Wonokitri, saking mencekamnya suasana saat itu, sampai-sampai setiap rumah di dusun tersebut membuat bunker untuk menyelamatkan nyawa warga setempat. Selain itu, sejumlah warga ada yang bergabung dalam memerjuangkan kemerdekaan Indonesia. Makanya, sebagian generasi tua di desa Wonoagung merupakan para veteran kemerdekaan, baik yang masih hidup maupun yang telah menghadap Sang Khalik.
Setelah masa perang kemerdekaan, kehidupan di desa Wonoagung kembali normal walau masih banyak kekurangan seperti belum adanya listrik dan jalan yang memadai. Ditambah lagi adanya pembentukan desa di sekitaran Wonoagung membuat luas Wonoagung semakin lama semakin mengecil. Hingga tahun 1970-an, luas Wonoagung hanya terdiri dari dusun Sumbergadung dan Wonokitri. Begitu juga dengan masyarakat yang kian hari kian bertambah karena banyak yang beranak cucu. Sejak saat itu, administrasi desa seringkali berubah-ubah sesuai dengan tingkat kepadatan penduduk.
Tahun 1960-an menjadi tahun sulit bagi masyarakat negeri ini. Krisis pangan dan identitas menyebar ke mana-mana. Ditambah lagi dengan hadirnya pengaruh ideologi komunis yang mulai menyebar ke daerah-daerah, membuat suasana kehidupan menjadi semakin kelam. Diceritakan bahwa sebagian masyarakat ada yang mengikuti paham Karl Marx tersebut dengan alasan mendukung rakyat lapisan bawah. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Banyak masyarakat yang menjadi anggota hingga hanya ikut-ikutan yang akhirnya dibawa oleh pihak berwajib dan tidak pernah kembali sampai saat ini.
Kelamnya suasana dekade ’60-an tersebut juga dirasakan masyarakat Wonoagung Tengah. Dituturkan para sesepuh, masyarakat dusun tersebut menganut sebuah aliran kepercayaan yang disebarkan oleh seseorang dari Dampit. Namun, aliran kepercayaan yang beralifiasi dengan pola hidup Kejawen tersebut mendapat cap sebagai anti agama dikait-kaitkan dengan paham komunis sehingga mereka pun merasa ketakutan. Mau tidak mau, mereka harus memilih agama yang telah ditentukan pemerintah di akhir tahun ’60-an. Akhirnya, sebagian masyarakat memilih Kristen sebagai agama mereka setelah orang yang membawa aliran kepercayaan memeluk agama Sang Juruselamat.
Dakwah Kristen mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat Sumbergadung bagian barat (Wonoagung Tengah, pen-). Hingga awal 2000-an, hampir mayoritas warga menganut agama tersebut dalam beberapa kelompok. Hanya segelintir warga yang tetap memeluk Islam, termasuk Petinggi Purwoto. Namun, kehidupan masyarakat masih tetap normal dan tak ada hal-hal tak terduga seperti konflik antarwarga.
Kembali, Lalu Pindah ke Wonokitri
Tahun 1975, Petinggi Purwoto meninggal dunia. Sepeninggalnya, diadakan pemilihan kepala desa untuk pertama kalinya. Ada beberapa calon yang bertanding saat itu. Bukan dengan foto diri, melainkan menggunakan simbol-simbol seperti buah-buahan, pepohonan hingga benda-benda bermakna lainnya. Setelah pemilihan, Trisnojoyo (w. 2016) didaulat menjadi Petinggi selanjutnya.
Sesuai dengan tradisi Petinggi sebelumnya, pusat pemerintahan desa kembali dipindahkan ke Sumbergadung sebelah timur. Sayangnya, pemerintahan kecamatan Ampelgading yang sebelumnya berada di Sanggrahan pun berpindah ke Tirtomarto yang jaraknya dua hingga tiga kali jauhnya dari Sanggrahan. Sehingga, untuk urusan administrasi kecamatan seperti pertemuan hingga kegiatan pemerintahan harus menempuh beberapa jam dari Wonoagung bila menggunakan kendaraan.
Di masa pemerintahannya, Petinggi Trisnojoyo membangun kantor desa di bekas tapak rumah Petinggi pertama, Atmodirejo, di awal tahun 1980-an. Bangunan tersebut terbuat dari batu bata, berdinding tebal, berlantai semen dengan garis-garis mirip tegel keramik dan mempunyai pendopo yang lumayan rendah untuk ukuran panjang badan 170 centimeter pada sisinya. Selain itu, bangunan sekolah dasar pun juga tak luput dari pembangunan guna menunjang pendidikan anak-anak di penjuru desa. Jalan utama desa pun mulai dibangun dengan makadam (jalan berbatu, pen-) karena sebelumnya masih berupa tanah yang sering basah saat musim hujan.
Awal tahun ’80-an menjadi lembaran baru bagi desa Wonoagung. Bersama dengan sebelas desa lainnya seperti Tamansatriyan, Pujiharjo, Sumbertangkil dan Gadungsari, Wonoagung masuk ke dalam administrasi kecamatan Tirtoyudo melalui Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1982. Peraturan yang ditandatangi Presiden Soeharto tersebut juga membentuk kecamatan baru lainnya di Kabupaten Malang, yaitu Gedangan dan Kromengan. Sejak saat itu, administrasi yang sebelumnya harus menuju ke Tirtomarto berpindah ke Tirtoyudo sebagai pusat pemerintahan kecamatan baru, sebelum akhirnya dipindahkan ke Tlogosari karena beberapa alasan.
Sayangnya, kampung Tunggulsari yang berada di dusun Wonokitri beralih kepemilikan pemerintahan ke desa Tamansatriyan. Alasannya karena jarak kampung dengan pusat pemerintahan desa di Sumbergadung sangat jauh hingga memerlukan waktu beberapa jam dengan berjalan kaki. Selain itu, kampung tersebut memang lebih dekat ke kampung sebelah yang sejak dulu ikut pemerintah Tamansatriyan. Terlebih, kampung yang saat itu masih dihuni beberapa rumah tersebut merupakan kampung yang menghubungkan desa Sumberputih, Wajak dan Tamansatriyan. Sehingga secara umum, masyarakat sertng menyebutnya kampung kuncrit karena saking terpencilnya dan lokasinya yang berada di tiga desa besar (Sumberputih, Wonoagung dan Tamansatriyan)
Pertengahan ’80-an, pemilihan kepala desa kembali diadakan. Kali ini, Purwadi terpilih sebagai Petinggi selanjutnya setelah mengalahkan beberapa calon Petinggi yang bertarung. Lagi-lagi, pemerintahan desa kembali dipindahkan oleh Petinggi tersebut. Uniknya, Wonokitri menjadi pusat pemerintahan desa karena tempat tinggal Petinggi Purwadi berada di sana. Komplek balai dusun Wonokitri dipilih sebagai tempat jalannya pemerintahan desa hingga saat ini. Menurut para sesepuh, komplek tersebut sebelumnya merupakan bekas sekolah rakyat (Sekolah Dasar, pen-) satu-satunya yang berdiri sejak akhir masa pemerintahan Hindia Belanda. Saat pemindahan pemerintahan desa, sekolah tersebut sudah dipindah ke tempat tersendiri seperti saat ini.
Masa pemerintahan Purwadi tidak ada bedanya dengan Petinggi sebelumnya. Pembangunan berlanjut walau berjalan sedikit demi sedikit. Bedanya, desa mulai menunjukkan kemajuan yang signifikan. Aliran listrik masuk desa Wonoagung di awal tahun 1990-an bersamaan dengan desa Tamansatriyan dan Amadanom, Dampit. Kehidupan masyarakat mulai beranjak membaik dan sejahtera.
Reformasi dan Saat Ini
Menginjak tahun 1997 hingga 1998, krisis moneter menjalar ke Indonesia. Hal itu berdampak pada kondisi desa Wonoagung. Saat Soeharto megundurkan diri sebagai presiden, sejumlah pejabat yang berbau orde baru pun turut mengundurkan diri. Purwadi yang saat itu menjadi Petinggi juga ikut mengundurkan diri dan digantikan dengan pejabat kepala desa yang ditunjuk pemerintah kabupaten selama tiga tahun. Di masa inilah, dusun Sumbergadung dipecah menjadi dua, yaitu Wonoagung Timur dan Tengah. Hal ini dilakukan karena populasi penduduk dusun tersebut yang kian banyak dan jarak antar dua daerah yang saling berjauhan satu sama lain, sehingga diperlukan pembentukan dusun baru.
Tahun 2001, pemilihan kepala desa kembali diadakan pasca reformasi. Siswanto yang sebelumnya menjabat sebagai Modin (Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat, pen-) terpilih sebagai kepala desa selama 10 tahun. Petinggi yang meninggal dunia pada tahun 2020 tersebut memiliki jejak pemerintahan yang serupa dengan para kepala desa sebelumnya. Salah satunya adalah pengaspalan jalan di penjuru desa antara tahun 2006-2010. Di samping itu, pembangunan jalan antardusun pun dilakukan dengan makadam, kemudian diaspal pada akhir masa jabatannya. Perubahan kehidupan masyarakat desa terasa sangat cepat, mulai dari populasi yang bertambah hingga hadirnya telepon selular yang menjadi separuh dari hidup mereka.
Tahun 2011 merupakan tahun demokrasi bagi Wonoagung. Pemilihan kepala desa Kembali diadakan karena saat itu jabatan kepala desa hanya dibatasi selama dua periode atau 10 tahun. Sudiono dipilih menjadi kepala desa setelah memenangkan suara terbanyak pada pemilihan tersebut. Antusias masyarakat sangat tinggi karena tempat pemilihan berada di komplek kantor desa di Wonokitri. Selama pemerintahannya, Sudiono tetap melanjutkan pembangunan desa, mulai dari jalan hingga kegiatan kemasyarakatan yang didukung pemerintahan desa. Renovasi kantor desa pun juga dilakukan pada masa jabatannya, selain adanya pembangunan sarana dan prasarana pendukung seperti Pos Pelayanan Terpadu, Pos Pelayanan Desa dan Taman Kanak-Kanak.
Hal serupa juga dilakukan oleh kepala desa selanjutnya, Suliyadi, selepas memenangkan pemilihan kepala desa di tahun 2017. Pembangunan di bidang infrastruktur mulai dikerjakan mulai dari pusat masing-masing dusun, sedangkan pembangunan bidang kemanusiaan diwujudkan dengan banyaknya pelatihan, penyuluhan dan kegiatan masyarakat seperti keagamaan, kesenian dan olahraga yang mulai kembali hidup. Hingga saat ini, kedua aspek pembangunan tersebut masih dilanjutkan dan akan berlangsung seiring pergantian kepala desa di kemudian hari.